Unlam Oh Unlam…

August 21, 2007 at 6:58 pm | Posted in Cerpen | 2 Comments

 Oleh Rahayu Suciati           

Jakarta. Kota ini memang pantas dibilang metropolisnya Indonesia. Segalanya begitu menggambarkan betapa megahnya kota ini. Bangunan yang tinggi menjulang, lalu lintas yang selalu padat dan rutinitas para penghuninya yang seolah tak kenal waktu. Banyak hal yang berubah dari kota ini sejak terakhir kali aku berkunjung kesini kira-kira tiga tahun lalu. Saat itu aku masih SMA, tapi sekarang ini aku sudah bergelar mahasiswa. Mahasiswa Unlam tepatnya.

          

 Aku menginjak tahun kedua di jurusan pendidikan bahasa Inggris yang sedang kugeluti saat ini. Kemarin aku sudah menyelesaikan ujian finalku. Karena itu, sekarang saatnya menikmati liburan semester yang sudah ku nanti-nantikan. Kebetulan juga orangtuaku mengajakku berlibur di Jakarta sambil mengunjungi keluarga abahku yang tinggal disini. Jadi tentunya tak akan kusia-siakan kesempatan ini.           

Dan di kota yang penuh hingar bingar inilah aku sekarang. Devi, sepupuku yang hanya terpaut satu tahun usianya diatasku itu begitu antusias menyambutku di rumahnya kemarin. Segala cerita dan berita saling kami tukar begitu kami bertemu. Kami memang sangat dekat sejak kecil sewaktu ia dan keluarganya masih menetap di Banjarmasin. Sayangnya setelah lulus SMP ayah Devi dipindahtugaskan ke Jakarta, sehingga kami berpisah jauh sejak saat itu. Karena itulah pertemuan ini telah lama kami tunggu untuk melepas kangen karena sudah tiga tahun tak saling bertemu.           

Sekarang jam empat sore. Aku masih menunggu Devi pulang. Sejak siang tadi ia pergi ke rumah temannya untuk rapat majalah kampus yang akan terbit minggu depan. Sebagai seorang mahasiswa ia memang termasuk aktif dalam kegiatan kampus. Mahasiswa UI yang satu itu memang hobi menulis sejak kecil. Tak heran kalau ia memilih terlibat dalam komunitas menulis untuk koran kampusnya. Apalagi fasilitas di kampusnya sudah tak bisa diragukan lagi untuk menunjang hobinya itu.            

Ah, jadi terpikir kampus sendiri jadinya. Sebenarnya seperti halnya Devi yang mencintai menulis, akupun seperti itu. Aku suka menulis apa saja. Artikel, cerpen bahkan novel sudah pernah kubuat. Sayang, masih sulit rasanya menyalurkan bakat menulis di kampus.            “Unlam? Orang Banjarmasin kok kuliah di Lampung, kan jauh banget tuh?” Tiba-tiba terngiang lagi perkataan salah satu teman Devi yang tadi siang datang bertandang ke rumahnya yang mengira kalau aku kuliah di universitas Lampung begitu aku mengatakan bahwa aku mahasiswa Unlam. Jujur saja ada perasaan kesal saat mendengar bahwa ia mengira kalau Unlam itu adalah Universitas Lampung. Siapa yang tak kesal kalau tempat kuliahnya di kira universitas lain.           

Tapi hal seperti itu memang tak sekali terjadinya. Kejadian kemarin juga persis seperti itu. Ketika salah satu teman kerja Om Danu, ayah Devi, mengobrol sebentar denganku.“Kuliah dimana, Rena?”“Di Unlam, Om“Oh, Universitas Lampung ya?”“Bukan, Om. Universitas Lambung Mangkurat. Kalau Universitas Lampung kan Unila”“O iya ya. Terus Unlam itu dimana ya?”. Jeglek! Kalau ada di adegan kartun, pasti sekarang aku sudah jatuh dari kursi dan kepalaku jadi benjol sampai sebesar telur bebek. Halo??? Apa orang-orang tak ada yang tahu kalau Unlam itu ada di Banjarmasin juga di  Banjar baru dan kalau mau lebih jelas tepatnya di Kalimantan Selatan? Apa Unlam sebegitu tak dikenalnya? Apa pamor Unlam sudah kalah telak dengan popularitas Universitas Lampung? Entahlah. Yang jelas memang tak sedikit orang yang tak tahu menahu tentang yang namanya Unlam itu.           

Aku menarik nafas panjang. Perasaan kecewa menyelusup sedikit-sedikit dalam hatiku yang terus mendengungkan tanda tanya. Mengapa Unlam tak begitu dikenal masyarakat luas? Mengapa nama Unlam masih sayup-sayup terdengar diantara sepak terjang universitas lain?           

Seketika muncul dorongan untuk membuat sesuatu agar bisa mengenalkan Unlam ke mata publik. Sebagai mahasiswa Unlam, aku tak mau jika tempat aku menimba ilmu terus-terusan tak banyak dikenal masyarakat. Aku ingin berbuat untuk universitasku. Aku tak mau diam saja. aku ingin menulis. Aku ingin mengenalkan Unlam ke seluruh nusantara. Yah, aku harus segera menulis!  

 “Dan pemenang pertama jatuh ke tangan…Rena Budimansyah dari Universitas Lambung Mangkurat”. Seketika jantungku berdegap kencang, darahku terkesiap tak siap dengan kejutan yang menyambangiku malam ini.  Tepuk tangan riuh menggema di seluruh ruangan Ballroom Hotel Indonesia malam itu ketika namaku disebut sebagai juara satu dalam lomba menulis artikel bertema “Kampusku, Pilihanku, Kebangganku” yang diumumkan pada malam ini. Aku tak menyangka kalau tulisan yang kubuat di rumah Devi dua minggu yang lalu itu bisa membawaku memenangkan perlombaan menulis yang diadakan oleh UI dan bertingkat nasional ini.  

Tak pernah aku berharap bisa menjadi juara ketika Devi mendaftarkan tulisanku dalam lomba itu. Tak lebih yang kulakukan hanyalah membuat sebuah karya untuk menceritakan kebangganku menjadi mahasiswa Unlam serta harapanku agar Unlam bisa melangkah jauh lebih maju. Tapi yang terjadi malam ini sungguh suatu hal yang luar biasa bagiku.  Ya Tuhan, aku yang hanya mahasiswa Unlam ini bisa menang dalam lomba menulis sekaliber ini. Itu berarti aku mengalahkan banyak pesaing lain yang berasal dari Universitas di seluruh Indonesia. Terima kasih, Tuhan. 

Begitu menginjakkan kakiku di podium untuk menerima piala dan hadiah, puluhan lampu sorot menyorotiku , hanya aku. Tepuk riuh penonton pun semakin bergema keras. Ya ampun, aku belum pernah merasakan hal yang luar biasa seperti ini dalam hidupku. Aku, Rena Budimansyah? Ketika piala itu sudah ditanganku rasa senang semakin kuat menjalariku. Apalagi begitu aku diberikan sebuah kertas dimana jumlah hadiah yang kuterima tercetak diatasnya. Sepuluh juta! Aku dapat beasiswa sebesar itu?  Puluhan blitz kamera mengabadikan gambarku yang berdiri di podium itu sambil memegang piala dan hadiah di kedua tanganku. Kulihat di kursi tengah, ayah, ibu, Devi serta Om dan Tanteku menyorakiku dan bertepuk tangan begitu gembira. Air mataku tak kusadari mengalir jatuh mambasahi pipiku.  

Begitu selesai acara, kami sekeluarga masih berkumpul di lobby hotel sambil tak habis-habisnya bercerita tentang kemenanganku ini ketika seorang pria yang kukenal sebagai panitia lomba menyapaku. “Rena, maaf ya ganggu sebentar, ada waktu nggak?” Pria itu bertanya ramah.“Iya, ada apa ya?”Ada yang mau ketemu kamu. Ayo saya kenalin” Aku pun mengangguk dan mengikuti langkah pria itu menuju tempat duduk di salah satu sudut lobby hotel tak jauh dari tempat keluargaku sedang berkumpul tadi.

Di sana sudah duduk lelaki setengah baya yang langsung berdiri begitu melihatku berjalan mendekat. Wajahnya berwibawa dan terkesan ramah.“Rena, selamat ya. Kenalkan saya Pak Bima” Tangannya mengembang menunggu uluran tanganku.“Terima kasih, pak” Jawabku sembari membalas uluran tangannya. Begitu ia menangkap ekspresi bingung dari wajahku, ia langsung menyambung kalimatnya. 

“Saya sudah baca tulisan kamu dan kamu memang pantas menjadi pemenang. Terus terang saya bangga dengan kamu. Sebenarnya saya juga lulusan dari Unlam tapi setelah lulus saya pindah kesini untuk meneruskan usaha kakek saya. Makanya rasanya senang sekali bisa melihat karya orang Unlam akhirnya bisa go public juga” ia tersenyum ramah. “Oh, jadi Bapak ini alumnus Unlam juga”. Aku membatin 

“Begini, Ding. Sudah lama sekali sebenarnya saya mencari mahasiswa Unlam yang berbakat menulis karena saya punya obsesi untuk mengenalkan Unlam agar namanya bisa lebih terkenal lagi. Sejak kuliah saya selalu ingin melihat Unlam bisa lebih maju dan saya yakin sekali kalau lewat tulisan bisa menjadi jalan pembukanya. Sewaktu kuliah dulu saya aktif menulis artikel lho. Tapi karena kesibukan usaha saya sekarang jadi kadada sampat lagi gasan menulis, haha..” Ia tertawa ringan. Aku tersenyum juga sembari mengangguk kecil. “Makanya sudah memang niat saya untuk memfasilitasi semaksimal mungkin bagi anak Unlam untuk berkarya. Apalagi Ding Rena ini urang Banjar jua kalo? Saya kagum karena dalam tulisanmu, kamu juga menyertakan keperihatinan kamu terhadap budaya Banjar yang kurang mengemuka. Saya juga berpikir seperti itu, sebagai orang Banjar, rasa prihatin jua bila suku Banjar kada tapi terkenal. Padahal jumlahnya banyak haja malah paling banyak di Kalimantan, tapi anehnya suku kita balum jua bisa mengemuka. Ya kalo, Ding?” Rena mengangguk tanda setuju sambil tersenyum karena lucu mendengar bahasa Indonesia yang dicampurnya dengan bahasa Banjar itu. Terkesan gado-gado, tapi ia justru salut dengan pria ini. Sudah lama tinggal di Ibukota yang serba modern ini tapi ia tak melupakan akar budayanya sendiri.  “Jadi saya berencana untuk mendanai kamu dalam penulisan buku yang mengupas suku Banjar. Kamu bisa mengupas segala hal yang bisa mengangkat suku Banjar. Apa saja, bisa budayanya, bahasanya atau sejarahnya, pokoknya semua tentang Banjar. Gerah juga rasanya kalau ke pergi ke toko buku atau perpustakaan tapi kadada yang mengupas suku Banjar. Maka dari itu kamu yang saya percaya sebagai penulisnya”.

Aku hanya melongo begitu untaian kalimat itu mengetuk dinding telingaku.  Hah! Aku membuat buku?? Apa mungkin? Ya Tuhan, begitu banyak kejutan menyenangkan yang ku dapat hari ini. Akhirnya mimpiku sebagai anak Banjar untuk menulis budaya dan sejarah Banjar bisa jadi kenyataan. Bagaimana ini bisa terjadi, Tuhan. “Bapak serius?” Hanya itu yang bisa kupaksa keluar dari mulutku setelah lama aku terdiam. Sebelum lebih lama lagi tampang konyolku plus mulut menganga akibat keterkejutan ini kupamerkan di depan Pak Bima. 

“Tentu saja. Ding Rena tidak perlu khawatir. Semua dana akan saya tanggung. Tugas kamu hanya menulis dan menjadikannya buku. Oya, selain tentang suku Banjar, saya juga ingin kamu menulis tentang Unlam. Saya sudah tak sabar lagi mengenalkan Unlam dan suku Banjar lewat buku ini. Ding Rena setuju?” “PASTI” teriakku tanpa sadar. Akupun tak lagi sadar ketika kakiku melompat kegirangan. Apa ini mimpi? Rasanya tak mungkin ini terjadi. Mimpikah aku? Ku pukul pipiku sekali untuk membuktikan bahwa ini nyata. Cukup sakit. Berarti ini nyata! Kupukul lagi sekali. Kali ini terasa lebih sakit. Dan kupukul lagi lebih keras….  

◙ ◙ ◙ 

“Auw!” aku mengerang kesakitan. Sayup kudengar sebuah tawa yang akrab di telingaku. Begitu mataku jelas terbuka, sosok Devi sudah berdiri di depanku lengkap dengan tawa jahilnya. Kuraba pipiku yang dipikulnya cukup keras tadi. “Sialan” aku melengos. Devi semakin cekikikan.“Makanya jangan ketiduran di depan komputer. Kalau mau tidur ya tidur di tempat tidur dong, Ren” Deva berlalu ke dapur sebentar kemudian memberiku segelas air minum yang langsung kusambar.

Tahu nih rasanya uyuh banar, makanya jadi teguring. Padahal tadi tuh aku handak menulis” Ujarku sehabis mereguk habis air di gelas. “Makanya kalau loe ngantuk jangan dipaksa lagi, Ren. Loe tidur aja” Devi berkata ringan sambil menyalakan TV yang berada di depan tempat tidur di kamarnya ini. Lucu juga bila mendengar gaya bicara Devi yang sudah fasih ber-loe-gue sekarang. Padahal dulu ia begitu kental dengan bahasa Banjar. Mungkin waktu enam tahun di Jakarta sudah bisa mengubah Devi.  

Tadi siang saja saat aku berbicara dalam bahasa Banjar dengannya ketika ia bersama teman-temannya, ia mempelototiku dan langsung menarikku ke dalam kamar untuk bilang kalau sebaiknya aku memakai bahasa Indonesia saja. Malu katanya.  Ah, miris juga kalau melihat anak Banjar malu dengan budayanya sendiri. Kalau seperti itu kapan suku Banjar bisa terkenal dan terkemuka se-Indonesia jika anak Banjar masih malu dengan budayanya sendiri. Jauh-jauh mengenalkannya ke mata Indonesia. 

Tidak seperti Pak Bima yang… Hei, Dimana Pak Bima tadi? Dimana pialaku? Aku teringat akan adegan kemenanganku yang tadi terhenti. Setelah tersadar aku melengos sendiri. Cuma mimpi! Huh! Lalu kubaca tulisan yang tercetak di layar komputer di depanku yang baru selesai dua paragrafnya saja.

Kuulangi lagi membaca judul tulisan yang tercetak disana. Unlam bukan Universitas Lambat Maju. Begitulah judul dari tulisan yang belum sempat kuselesaikan karena tertidur tadi. Mm, kapan ya Unlam bisa melesat maju? Aku membatin dan tanpa hentinya mataku terpaku pada tulisan di depanku. 

Ah, andai saja orang seperti Pak Bima itu benar-benar ada. Andai saja suku Banjar yang terkenal itu bisa jadi nyata. Andai saja Unlam yang terkemuka itu bukan hanya mimpi. Andai saja…. Apa daya? Unlam, oh Unlam……. 

Banjarmasin, 23 April 2007

2 Comments »

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

  1. Ha … ha … boleh juga imajinasinya ….

    🙂 makasih

  2. Salam dan terus berkreasi buat cangcorong ???!!!

    salam cangcorong selalu 🙂


Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.
Entries and comments feeds.